Saturday, May 30, 2009

Ia dan Matahari Pagi

Satu kata yang paling saya takuti di dunia ini: kehilangan. Saya belum siap menerima sambaran petir yang menggeser sinar matahari pagi yang seharusnya diperuntukkan kepada saya. Seiring sinar matahari melemah di tengah pagi, saya bisa merasakan ada kekosongan yang perlahan-lahan menggerogoti hingga saya ikut-ikutan kehilangan kekuatan. Saya masih bisa berdiri di atas kedua kaki saya. Otot-otot dan ligamen masih kuat menopang tubuh saya sehingga saya masih bisa berjalan lurus. Tetapi saya kehilangan kekuatan untuk berdiri dan terlebih lagi untuk berlari, hingga kadang sewaktu-waktu saya merasa tubuh ini berjalan tanpa empunya.

Seperti kupu-kupu yang kehilangan sayapnya, atau seperti bunga mawar yang terlepas dari tangkainya, saya masih hidup tetapi saya kehilangan seperempat nyawa saya. Sudah berkali-kali saya mencoba melepaskan diri dari genggamannya agar saya dapat berdiri sendiri. Sayangnya, berkali-kali pula saya terjatuh dan dia dengan sigap memapah saya.

Dia adalah sumber kekuatan, sekaligus titik kelemahan saya. Saya masih bisa menatap kedua matanya yang tajam, sekalipun saya sedang terpejam. Saya masih bisa mendengar suaranya, sekalipun dia berbicara dalam hati. Tetapi sekarang tatapan dan suara itu perlahan semakin semu, hingga pada suatu perempatan saya hanya bisa mendengar derap langkahnya yang semakin menjauh. Saya belum begitu siap dengan perubahan ini, sehingga saya harus terseok-seok mengejarnya yang telah sampai di satu tujuan.

Otak kecil saya terasa semakin mengkerut. Saya kehilangan keseimbangan sehingga saya tidak bisa berada di titik stabil. Saya terperosok bukan pada lubang yang dalam, melainkan di jalan lurus yang telah diaspal. Saya jatuh terbanting sehingga saya merasakan sakit yang beribu-ribu kali lipat. Saya merasakan satu per satu kepingan demi kepingan terlepas dari tubuh saya, hingga saya menjadi kopong dan tidak berdaya..

1 comment:

maindra said...

siapa? siapa?
tell me
: )